Dalam kehidupan sosial budaya, ternyata melalui tulisannya banyak
para ahli sejarah menyebut-nyebut Magetan. Demikian pula dalam
kenyataanya, di Magetan tidak sedikit dijumpai peninggalan-peninggalan
pada jaman dahulu kala, misalnya di desa Kepolorejo Kecamatan Kota
Magetan, di desa Cepoko Kecamatan Panekan. Di makam Sonokeling desa
Kepolorejo Kecamatan Kota Magetan terdapat sebuah makam yang membujur
kearah utara selatan. Batu nisan sebelah berukuran lebar 34 cm, tebal 26
cm, tinggi 66 cm yang bahannya terbuat dari batu andezit dimana bentuk
tulisannya diperkirakan berasal dari sekitar abad 9. Di dukuh Sadon desa
Cepoko kecamatan Panekan terdapat Kalamakara dengan reruntuhan batu
lainnya yang bahannya juga dari batu andezit. Berdasarkan hal tersebut
terdapat kemungkinan dipersiapkannya pendirian bangunan candi. Pada
reruntuhan batu yang terletak dibawah makara terdapat tulisan yang tidak
terbaca karena sudah rusak, dari bentuk tulisannya dapat diperkirakan
bahwa peninggalan tersebut dari jaman Erlangga (Kediri). Reruntuhan
tersebut oleh masyarakat sekitar dikenal dengan nama Dadung Awuk.
Ditempat lain juga terdapat peninggalan-peninggalan yang lain seperti di
puncak gunung Lawu wilayah kabupaten Magetan yaitu peninggalan yang
berbentuk Pawon Sewu (candi pawon) atau punden berundak yang
diperkirakan sebagai hasil budaya jaman Majapahit. Demikia juga di
lereng gunung Lawu terdapat peninggalan candi Sukuh dan candi Ceto.
Adanya peninggalan-peninggalan tersebut sesuai dengan perkembangan di
akhir kerajaan Majapahit, dimana waktu itu banyak rakyat dan kalangan
keraton yang meninggalkan pusat kerajaan dan pergi ke gunung-gunung
dalam usaha mempertahankan kebudayaan dan agama Hindu termasuk gunung
Lawu kabupaten Magetan.
Hal ini telah disebut pula dalam babad
Demak antara lain sebagai berikut : bahwa pangeran Gugur putera
Brawijaya Pamungkas yang oleh masyarakat Magetan disebut sunan Lawu,
bermukim diwilayah gunung Lawu yang batasnya sebelah selatan Pacitan,
sebelah timur bengawan Magetan dan sebelah utara bengawan (Solo, Ngawi,
Bojonegoro).
Dalam babad Tanah Jawi terdapat bait-bait sebagai berikut :
Pupuh 3 :
Anging arine raneki
Sang dipati tan purun ngalihno
Dene patedan Sang Raji
Pandji sureng raneku
Duk sang nata aneng samawis
Mangkana Kartojudo
Ing raka tinuduh
Anggetjah mantjanegoro ponorogo, madiun lan saesragi
Kaduwang ka magetan
Pupuh 5 :
Saking nagari ing Surawesti
Wus sijaga sedja magut ing prang
Mring demang Kartojudone
Ing pranaraga ngumpul
Ka Magetan kaduwung sami
Tuwin ing Jagaraga
Pepak neng Madiun
Sampun ageng barisira
Sira demang Kartojudo budal saking
Caruban saha bala
Pupuh 8 :
Sira demang Kartojudo aglis
Budal saking Madiun negara
Mring Jagaraga kersane
Dene ingkang tinuduh
Mring kaduwang mantri kekalih
Ngabehi Tambakbojo
Lawan Wirantanu
Angirid prajurit samas
Mantri kalih ing kaduwang sampun prapti
Mandek barisira
Pupuh 9 :
Nahan gantija kawuwusa
Sri Narendra gja wagunen ing galih
Denja mijarsa warta
........................................................
Pupuh 10 :
Pambalike wong Mantjanegoro
Geger tepis iring Kartosuro
.................................................
Dari tulisan tersebut diatas yang teruntai dalam bentuk tembang dandang gulo dapat diambil kesimpulan bahwa :
- Pertama : Magetan benar-benar merupakan daerah Mancanegoro Mataram (daerah takluk kerajaan Mataram)
- Kedua : Magetan adalah tempat berkumpulnya prajurit Mancanegoro untuk menyerang pusat pemerintahan Mataram yang pada saat itu berada dibawah pengaruh kekuasaan kompeni belanda
- Ketiga : Kekacauan terus menerus yang dialami oleh pusat pemerintahan Kerajaan Mataram yang lazim disebut sebagai perang mahkota (didalangi oleh kompeni belanda) maka Magetan sebagai daerah mancanegoro mendapat pengaruh langsung dari perang mahkota itu. Akibat perang tersebut banyak leluhur Mataram yang wafat dan dimakamkan di daerah Magetan.
0 komentar:
Posting Komentar